Di tengah hiruk-pikuk pembicaraan tentang pendidikan di Indonesia, kebijakan Website ’79-a’ menjadi salah satu topik yang tak bisa diabaikan. Kebijakan ini dianggap sebagai titik balik dalam pengembangan kurikulum pendidikan di tanah air. Namun, apakah kebijakan ini benar-benar mampu mengangkat kualitas pendidikan di Indonesia atau justru menjadi beban baru yang menambah kerumitan sistem pendidikan kita? Dalam tulisan ini, kita akan membedah lebih dalam peran ’79-a’ dalam pengembangan kurikulum pendidikan dan bagaimana pandangan serta kontribusi tokoh-tokoh terkemuka bisa memberikan gambaran yang lebih jelas.
Kebijakan ’79-a’: Inovasi atau Wacana?
Kebijakan ’79-a’ sebetulnya lahir dari kebutuhan mendesak untuk mengakomodasi perubahan zaman. Dunia yang serba cepat dan dinamis menuntut pendidikan yang tidak hanya mengandalkan hafalan, tetapi juga kemampuan berpikir kritis, kreatif, dan adaptif. Kebijakan ini menawarkan pendekatan baru dalam penyusunan kurikulum yang lebih relevan dengan tuntutan global.
Namun, banyak pihak yang melihat kebijakan ini sebagai sesuatu yang masih terlalu normatif dan terburu-buru. Pemerintah, meskipun berniat untuk melakukan perbaikan, sering kali gagal dalam memahami kompleksitas penerapan kebijakan yang terlalu terpusat pada regulasi. Kurikulum yang dirancang berdasarkan kebijakan ini sering dianggap terlalu berfokus pada teori, dan kurang memberikan ruang bagi pengembangan kreativitas guru dan siswa.
Menurut Dr. Agus Santoso, seorang tokoh pendidikan nasional, “Kebijakan ’79-a’ meskipun memiliki niat yang baik, terkadang terjebak dalam birokrasi yang kaku. Sering kali, kebijakan ini lebih menjadi alat kontrol daripada sebagai pendorong inovasi dalam pendidikan.”
Membedah Kontribusi Tokoh-Tokoh Pendidikan Terhadap aImplementasi ’79-a’
Berkaca pada para tokoh pendidikan terkemuka, mereka menilai kebijakan ini dari sudut pandang yang berbeda. Beberapa melihatnya sebagai sebuah langkah maju, sementara yang lain menganggapnya sebagai tantangan besar.
1. Dr. Muhammad Fauzi – Mendorong Pendidikan Karakter
Sebagai tokoh yang terkenal dengan pemikirannya mengenai pendidikan karakter, Dr. Fauzi melihat bahwa ’79-a’ memiliki peluang untuk mengembangkan nilai-nilai moral dan sosial dalam kurikulum pendidikan. Menurutnya, pendidikan di Indonesia harus lebih dari sekadar mengajarkan mata pelajaran; ia harus membentuk karakter siswa yang berpikir kritis dan memiliki kecerdasan emosional.
“Kebijakan ’79-a’ jika diterapkan dengan baik, bisa menjadi pondasi bagi pendidikan yang lebih holistik. Dengan menambahkan lebih banyak elemen pendidikan karakter dalam kurikulum, kita bisa menciptakan generasi yang tidak hanya cerdas tetapi juga bijaksana dalam bertindak,” kata Dr. Fauzi.
Bagi Fauzi, penerapan kebijakan ini harus diimbangi dengan pelatihan intensif bagi guru untuk bisa mengintegrasikan nilai-nilai tersebut dalam pengajaran mereka. Tanpa itu, kebijakan ’79-a’ hanya akan menjadi teori yang tidak diterjemahkan dengan baik di ruang kelas.
2. Prof. Suhartono – Pendidikan yang Mengutamakan Keterampilan Abad 21
Prof. Suhartono, seorang ahli pendidikan tinggi dan penggiat pembaharuan kurikulum, melihat bahwa kebijakan ’79-a’ memiliki potensi besar dalam mengarahkan pendidikan Indonesia ke arah yang lebih relevan dengan kebutuhan global, terutama dalam hal keterampilan abad 21. Menurutnya, kurikulum yang didorong oleh kebijakan ini dapat menciptakan siswa yang siap bersaing di dunia global dengan kemampuan berpikir kritis, komunikasi, kolaborasi, dan pemecahan masalah.
Namun, Suhartono mengingatkan, “Penerapan kebijakan ini memerlukan perubahan dalam mindset pengajaran. Para guru tidak boleh lagi menjadi penyampai materi semata, tetapi harus menjadi fasilitator yang membantu siswa untuk mengembangkan keterampilan-keterampilan tersebut.”
Kebijakan ’79-a’ dalam pandangan Suhartono bisa membuka peluang untuk mengintegrasikan teknologi dalam pendidikan secara lebih menyeluruh. Kurikulum yang berbasis pada kompetensi ini diharapkan mampu menghasilkan siswa yang tidak hanya menguasai ilmu pengetahuan, tetapi juga terampil dalam memanfaatkan teknologi untuk memecahkan berbagai masalah.
3. Dr. Siti Rahmawati – Menghadapi Tantangan Penerapan di Daerah Terpencil
Di sisi lain, Dr. Siti Rahmawati, seorang akademisi yang banyak meneliti pendidikan di daerah terpencil, menyoroti tantangan besar yang dihadapi oleh kebijakan ’79-a’. Menurutnya, meskipun kebijakan ini berpotensi membawa kemajuan, implementasinya di daerah-daerah yang kekurangan sarana dan prasarana pendidikan akan sangat sulit.
“Kebijakan ini akan jauh lebih efektif jika diperhitungkan konteks lokalnya. Di daerah-daerah dengan keterbatasan fasilitas, penerapan kurikulum yang terlalu kompleks bisa menambah beban. Kita perlu memperhatikan perbedaan kondisi antar daerah agar kebijakan ini dapat diimplementasikan dengan tepat sasaran,” ujar Dr. Rahmawati.
Peluang Besar, Tapi Tantangan Masih Terbentang
Kebijakan ’79-a’ memang membawa angin segar dalam dunia pendidikan Indonesia, namun tidak dapat dipungkiri bahwa tantangan besar masih menghadang di depan. Dari segi sumber daya manusia, infrastruktur, hingga kesenjangan antara daerah perkotaan dan pedesaan, penerapan kebijakan ini memerlukan kerjasama lintas sektor yang tidak bisa dilakukan hanya dengan peraturan dan kebijakan di atas kertas.
Namun, dengan adanya kontribusi dari tokoh-tokoh pendidikan seperti Dr. Fauzi, Prof. Suhartono, dan Dr. Rahmawati, kita bisa melihat bahwa kebijakan ini, jika diterapkan dengan cermat dan berbasis pada kondisi nyata di lapangan, bisa membawa perubahan besar. Tantangan terbesar kini adalah bagaimana mengintegrasikan berbagai aspek tersebut dalam sebuah ekosistem pendidikan yang lebih holistik dan inklusif.
Menunggu Waktu untuk Membuktikan
Kebijakan ’79-a’ berpotensi besar dalam mengubah wajah pendidikan Indonesia ke arah yang lebih progresif. Namun, peran serta tokoh pendidikan dalam memberikan masukan yang konstruktif dan aplikatif sangat dibutuhkan agar implementasinya berjalan dengan efektif. Dengan kata lain, kebijakan ini bukanlah sekadar keputusan yang bisa diputuskan di atas meja, melainkan harus menjadi kerja bersama yang membutuhkan perencanaan matang, kolaborasi lintas sektor, dan adaptasi yang fleksibel.